Selama setengah dekade terakhir suka atau tidak harus diakui, gaya permainan Barcelona yang disebut tiki-takasulit diatasi. Raihan puluhan tropi bersama Pep Guardiola—kendati embrio gaya itu sudah dimulai pada periode Frank Rijkaard—menjadi bukti sahih atas sulitnya menghentikan laju aliran bola dalam gaya tiki-taka.
Pengakuan terbaru datang dari dua pelatih top dunia, Frank Rijkaard dan Fabio Capello. Menurut Rijkaard, “Tidak ada ‘peluru ajaib’ yang bisa mengalahkan Barca” (31/12/12 ), Sementara Capello berujar, “Mustahil untuk mengadaptasi gaya permainan Barca karena sistem itu hanya bisa dimainkan oleh pemain seperti Iniesta dan Messi.” (18/01/13 ). Tetapi yang ‘mustahil’ ditiru tidak berarti tidak punya kelemahan bahkan untuk diremukkan.
Stadion Anoeta di wilayah Basque Minggu dinihari (20/1/13) menjadi saksi, bagaimana ketika penguasaan bola Barca di-pressure terus menerus oleh pemain Real Sociedad, gaya itu tak lagi bertaji. Dan, manakala Gerard Pique out karena kartu merah, tiki-taka itu tinggal cerita indah. Kejadian serupa mengulang saat Real Madrid menekuk Barca 2-1 di ajang Super Copa (30/8/12), ketika sistem tiki-taka diredam oleh kecepatan Madrid, dan kartu merah untuk Adriano membuat tiki-taka berjalan namun tak tentu arah lagi.
Fabio Capello memang tidak asal bicara. Pada kenyataannya pelatih Liverpool, Brendan Rodgers yang ‘dinilai’ sejumlah pengamat sukses mengajarkan gaya ala tiki-taka di klub promosi, Swansea, dan membawanya bercokol di peringkat 11 Liga Inggris (2011/2012), kesulitan membentuk tiki-takadi Liverpool. Contoh terakhir ini mungkin terlalu radikal. Banyak pengamat mengakui, Liverpool merupakan klub Inggris yang ‘paling Inggris’, yang dikenal sangat konvensional memainkan gaya legendaris kick and rush, yang berisi long passing dan kejar. Filosofi kick and rush terletak pada ‘semakin banyak bola beredar wilayah gawang lawan, peluang mencetak gol terbuka lebar’. Karena itu, sebanyak mungkin memaksa bola itu lebih banyak dimainkan di area berbahaya lawan.
Kendati belum berfungsi maksimal namun tanda-tanda gaya tiki-taka ala Liverpool terlihat jelas, terutama di babak ke-2 ketika menghadapi MU di Old Trafford (12/01/13 ). Penguasaan bola denganpassing pendek oleh Gerrard dkk. terlihat menyiksa MU. Van Persie pun lebih banyak berlari dan menanti, namun nasib yang menjauhkan The Reds dari mencetak lebih banyak gol. Inilah yang disebut oleh Capello ‘butuh seorang seperti Messi’, yang artinya tidak hanya gelandang dengan visi ‘kelompok’, tapi terlebih seorang finisher sempurna. Liverpool tidak punya.
Sebuah adagium Latin mengatakan, “Jika tidak bisa ditiru, mengapa tidak mengatasinya”, karena itu ‘mustahil meniru tiki-taka Barca’ tidak berarti mustahil untuk meremukkannya. Contoh mutakhir, kekalahan Barca dari Real Sociedad (20/1/13 ) di Anoeta dan ditahan imbang Malaga di Nou Camp (17/1/13 ), atau pun kalah oleh Glasgow Celtic di Liga Champions (8/11/12 ) menjadi bukti, tiki-takadapat diatasi, sepenuhnya.
Sistem Tiki-Taka
Filosofi bermain tiki-taka diletakkan sepenuhnya pada filosofi dasar sepakbola ‘di luar nasib, hasil adalah pencapaian signifikan atas kolektivitas dan kerjasama’. Harus diakui kolektivitas dalam tiki-taka adalah sempurna. Kolektivitas mengampu penguasaan medan sepenuhnya dengan visimenemukan celah pada pertahanan lawan. Penguasaan bola ala tiki-taka membuat lawan akan ter’dikte’ sepanjang pertandingan. Prinsip ini mengandalkan passing pendek sempurna, tanpa harus menunggu situasi menjadi rumit atau pemain dalam kondisi ditekan lawan. Memutar bola secara konstan dan konsisten sampai ke sudut-sudut lapangan membuat (1) ritme permainan terkontrol dan (2) celah-celah di pertahanan lawan diketahui dan tinggal dieksplorasi.
Dampak dari gaya permainan ini sangat jelas: di sepanjang 90 menit lawan tidak hanya akan terdikte tapi juga tersiksa. Dari pengalaman penulis, saat Anda didikte dengan passing pendek yang mengalirbersliweran di sekitar Anda, bahkan sering begitu dekat—hingga Anda berpikir ‘seolah-olah’ bisa Anda jangkau bola itu, padahal tidak—itu meruntuhkan tidak hanya stamina tetapi juga mental bertanding Anda. Inilah efek ‘kejam’ tiki-taka, bahwa tidak hanya stamina terkuras habis menjadi ball boy tetapi juga frustrasi.
Tetapi belakangan, banyak klub yang tidak lagi ‘frustrasi’ jika harus berhadapan dengan Barca, seperti Real Madrid—yang dalam 4 pertemuan terakhir mampu menang 2 kali, 1 kali seri dan 1 kali kalah—, juga tim-tim La Liga yang bertarung dengan semangat nothing to lose. Apa resep jitu mereka untuk meremuk Barca? (Bersambung)
Sumber : menits.com